24 / 06 / 23
Aku biasanya selalu merencanakan sesuatu agar dapat berjalan dengan baik. Mencari informasi tentang keadaan tempat tersebut sebanyak-banyaknya, mencatat kebutuhan, dan membuat estimasi yang dibutuhkan.
Seperti halnya kehidupan ini, semuanya harus dilakukan dengan persiapan dan perencanaan. Apakah kamu ingin hidup tanpa arah dan tujuan? Sungguh menyakitkan.
Pilihan kami jatuh kepada Jepang!
Ya, kami memutuskan untuk transit di Jepang sebelum sampai di Amerika. Selain strategis, siapa sih yang tidak ingin ke Jepang? Negara ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Mengingat ketika aku sedang mempersiapkan tiket pesawat untuk mengikuti kegiatan di Amerika, sesuai cerita yang telah aku tuliskan sebelumnya, kami akhirnya memilih Jepang sebagai tempat transit. Setelah mengajukan informasi tersebut, akhirnya rencana kami disetujui.
Sehari setelahnya, tiket keberangkatan kami pun sudah aku terima. Sebenarnya, kami bisa saja hanya transit dan diam saja di bandara ketika di Jepang nanti. Namun, bayangkan sembilan jam hanya duduk diam di dalam bandara—tentu sangat membosankan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk keluar dan mencoba mengeksplorasi beberapa tempat di Jepang.
Oh iya, karena paspor biruku belum menggunakan paspor elektronik, aku harus segera mengurus visa masuk. Ya, paspor Indonesia memang membutuhkan visa untuk masuk ke Jepang.
Tak lama setelah menerima tiket pesawat, aku segera mengajukan visa Jepang melalui VFS Global. Kali ini, aku mengajukan visa transit dengan biaya kurang lebih hanya 80.000 rupiah untuk transit double—baik saat berangkat maupun pulang nanti.
Esok harinya, aku segera kembali ke Jakarta untuk mengurus visa tersebut. Prosesnya ternyata cukup cepat dan mudah, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tujuh hari kerja. Namun, waktu itu sangat mepet karena aku harus segera pergi ke Toraja. Akhirnya, ketika visa tersebut selesai, aku meminta untuk dikirim melalui ekspedisi ke rumah.
Di pertengahan kegiatanku di Toraja, visa tersebut akhirnya sudah sampai di rumah. Aku pun siap mengunjungi dan mengeksplorasi beberapa tempat di Jepang!
Kali ini aku akan melanjutkan cerita ketika pesawat kami mendarat di Bandara Tokyo Narita, Jepang. Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini: Berangkat Memecah Samudra Dari Udara - US #6
Langit mendung ketika kami tiba di Jepang, hujan rintik-rintik sesekali turun dari langit. Kami langsung menuju pintu imigrasi agar bisa keluar dari bandara.
Sayangnya, terjadi sedikit miskomunikasi. Salah satu teman kami, Boby, ternyata tidak memiliki visa untuk masuk ke Jepang. Kami pun berusaha membantunya mendapatkan visa on arrival. Namun, setelah menunggu cukup lama, hasilnya tetap sama—visa tidak bisa diberikan. Mau tak mau, Boby harus tetap tinggal di bandara sampai kami kembali nanti.
Pintu imigrasi saat itu cukup padat dengan para pendatang. Butuh waktu ekstra untuk melewatinya. Setelah kurang lebih setengah jam mengantre, akhirnya kami berhasil melewati imigrasi dan bersiap menjelajah Kota Tokyo.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempat membersihkan diri di bandara, meskipun hanya mencuci muka. Di bandara, tersedia mushola yang lokasinya cukup strategis dari area kedatangan internasional. Hal ini cukup membuatku terkesan.
Setelah bersiap, pagi sekitar pukul delapan lebih, kami mulai merencanakan perjalanan ke kota. Bagiku, yang biasanya selalu menyiapkan rencana sebelumnya, kali ini aku benar-benar tanpa persiapan. Waktu itu, segala hal terasa begitu mendesak karena kegiatanku sebelumnya di Toraja.
Teman-teman lain sibuk mencari tempat penitipan koper. Ini menjadi tantangan tersendiri, karena kami sama sekali tidak memiliki uang Jepang dengan pecahan kecil. Akhirnya, kami mencari tempat penukaran uang di bandara, tetapi tidak menemukan satu pun yang sesuai. Setelah mencoba beberapa toko di dalam bandara, akhirnya kami berhasil menukar uang di salah satu toko tersebut.
Saatnya mencari transportasi menuju pusat kota. Ada dua opsi: kereta atau bus. Kami segera menuju lantai basement untuk ke stasiun bandara. Namun, saat tiba di sana, kami terkejut—semua informasi ditampilkan dalam bahasa Jepang dengan huruf kanji khasnya.
Kami benar-benar kebingungan. Tujuan kami ke mana? Naik kereta yang mana?
Aku merasa syok. Sistem transportasi kereta di Jepang, khususnya di Tokyo, ternyata sangat kompleks. Dengan rute yang begitu banyak dan tanpa pengalaman sebelumnya, ditambah waktu persiapan yang minim, kami kesulitan memahami semuanya. Saat mencoba bertanya kepada orang sekitar, sebagian besar terlihat sibuk berjalan cepat dengan urusan masing-masing.
Kami pun mencoba membeli tiket secara manual melalui mesin yang tersedia, tetapi tetap kebingungan. Waktu terus berjalan, sementara kami hanya punya sembilan jam untuk transit. Sayangnya, satu setengah jam sudah terbuang hanya untuk persiapan dan mencari tiket.
Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke lantai atas dan memilih bus sebagai alternatif. Bus berikutnya tersedia dalam waktu sepuluh menit. Tanpa pikir panjang, kami segera membeli tiket dan bersiap berangkat menuju pusat kota Tokyo.
Bus membawa kami menuju pusat kota Tokyo. Perkotaan dengan ciri khas gang-gang klasik membuat kami terpesona, terlebih setelah diguyur hujan. Suasana terasa lebih syahdu dan romantis.
Setelah satu jam perjalanan, kami tiba di pusat kota, tepatnya di Tokyo Station. Kami memutuskan tujuan pertama kami adalah Tokyo Tower, menara televisi merah yang sangat terkenal. Kami mencoba mencari rute terbaik menuju ke sana menggunakan Google Maps.
Memasuki gedung Tokyo Station yang sangat besar, kami melihat orang-orang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing, seolah-olah mereka sudah tahu tujuan mereka. Namun, bagi kami yang baru pertama kali ke sini, semuanya terasa sangat membingungkan. Tokyo Station, sebagai pusat integrasi seluruh moda transportasi di Tokyo, membuat suasana semakin menegangkan.
Jepang memang terkenal dengan puluhan rute kereta yang sangat sibuk. Papan informasi besar dengan tulisan kanji mencoba memberikan peta rute kereta di Tokyo—puluhan jalur tersusun rapat. Bermodalkan Google Maps, kami akhirnya memilih salah satu rute dan mencoba membeli tiket.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya tiket kereta ada di tangan. Memasuki kereta, rasanya seperti adegan dalam drama Jepang—atau lebih tepatnya, aku teringat film Doraemon, hehe. Dari jendela, terlihat gedung-gedung tinggi menjulang dan toko-toko dengan papan reklame berbahasa Jepang, memberikan pemandangan yang sangat otentik.
Kami turun dari kereta dan berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk sampai di tujuan pertama, Tokyo Tower. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang saat kami tiba. Kami langsung berfoto ria dengan berbagai spot dan angle terbaik, mencari tempat yang "viral" untuk mengabadikan momen.
Setelah satu jam berkeliling dan mencari spot foto, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan kedua, Shibuya, dengan spot penyebrangan yang ikonik. Kali ini, perjalanan menggunakan kereta terasa lebih mudah karena kami mulai terbiasa.
Sesampainya di Shibuya, kami langsung menuju spot penyebrangan tersebut. Sebuah perempatan yang dikelilingi gedung-gedung besar dan papan reklame berbahasa Jepang membuat tempat ini terlihat lebih menarik. Kami mengambil beberapa foto dan video berlatar gedung-gedung tersebut sebelum melanjutkan berkeliling di sekitar area itu.
Tak terasa, cacing-cacing di perut mulai protes kelaparan. Mengingat kembali, terakhir kali kami makan adalah di pagi hari, itupun hanya makanan di pesawat. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kami pun mulai mencari restoran halal berdasarkan ulasan di internet.
Akhirnya, kami menemukan restoran halal terdekat. Antrian sudah cukup panjang ketika kami tiba di sana. Daripada mencari tempat lain yang belum pasti, kami memutuskan untuk menunggu meskipun waktu terus berjalan.
Kali ini, aku memutuskan untuk mencoba mie ramen asli langsung di Jepang. Kapan lagi, kan, makan ramen langsung di sini? Hehe. Pesanan datang, dan menurutku rasanya enak dan cocok di lidah. Aku kurang tahu apakah rasanya berbeda karena aku belum pernah mencoba ramen sebelumnya, bahkan di Indonesia.
Waktu menunjukkan pukul setengah empat ketika kami selesai makan. Artinya, waktu kami tersisa kurang lebih dua jam sebelum penerbangan selanjutnya. Selain karena banyak pelanggan lain yang sedang menunggu, kami pun memutuskan untuk segera kembali ke bandara.
Dua jam waktu yang kami miliki untuk kembali ke bandara.
Setelah makan, kami langsung menuju stasiun terdekat dan kembali menggunakan kereta. Tidak ada masalah serius di sini. Tujuan kami adalah kembali ke pusat kota, Tokyo Station.
Sesampainya di Tokyo Station, waktu kami sudah sangat terbatas. Kami segera bergegas mencari loket tiket bus tujuan Bandara Narita. Loket tersebut berada di salah satu sisi pintu gedung yang luas dan besar. Tanpa berpikir lama, kami langsung membeli tiket bus tersebut.
Bus menuju bandara berangkat setiap tiga puluh menit sekali. Saat itu, penumpang dengan tujuan yang sama cukup banyak mengantri. Kami pun ikut dalam antrian, dan setelah menunggu, akhirnya kami berada di barisan paling depan. Sayangnya, ketika tiba giliran kami, kursi yang tersedia di bus tersebut hanya dua.
Kami menjelaskan kepada petugas bahwa penerbangan kami tinggal satu setengah jam lagi sebelum take-off. Kami bahkan memohon agar bisa masuk bertiga, meskipun salah satu dari kami harus berdiri. Namun, aturan tidak mengizinkan hal itu, dan akhirnya kursi tersebut diberikan kepada penumpang lain setelah kami.
Kami harus menunggu setengah jam lagi untuk bus berikutnya. Saat itu, kami mulai panik, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, bus yang kami tunggu tiba, dan kami segera berangkat. Estimasi waktu perjalanan adalah satu jam—sangat-sangat mepet dengan jadwal penerbangan kami.
Dalam perjalanan, rasa panik mulai menderu. Kami hanya bisa berharap agar tiba tepat waktu. Sambil di perjalanan, kami mencoba menghubungi Boby, yang sudah berada di bandara sebelumnya. Kami meminta Boby memastikan kehadiran kami di pintu boarding dan menjelaskan kepada petugas untuk menunggu kami jika boarding dimulai.
Waktu terus berlalu, dan akhirnya, sepuluh menit sebelum take-off, kami tiba di bandara. Segera setelah bus berhenti, kami mempersiapkan diri untuk berlari.
Kami berpencar: aku langsung menuju pintu imigrasi, sementara kedua temanku mengambil bagasi yang sebelumnya mereka titipkan. Napasku mulai terengah-engah saat menaiki tangga menuju imigrasi. Aku menjelaskan kepada petugas bahwa waktu kami sangat sedikit, dan petugas dengan sigap menemani serta memprioritaskan kami.
Aku terus berlari, untungnya pintu boarding pesawatku tidak terlalu jauh. Ketika sampai di sana, aku melihat Boby masih menunggu. Tidak banyak orang tersisa, hanya satu atau dua orang terakhir yang akan masuk pesawat. Aku melanjutkan pemeriksaan terakhir sambil menjelaskan kepada petugas bahwa teman-temanku masih di belakang.
Pikiranku campur aduk—senang karena sudah berada di dalam, tetapi masih panik menunggu teman-temanku.
Dari kejauhan, akhirnya aku melihat mereka berdua berlari mendekat, ditemani oleh petugas yang membantu. Mereka melewati pemeriksaan terakhir, dan kami semua berhasil masuk ke boarding gate. Dua menit sebelum take-off, kami akhirnya duduk di dalam pesawat, dengan napas tersengal dan kondisi tubuh yang kacau balau.
Bagaimana jadinya jika kami terlambat? Alhamdulillah, kali ini kami aman dan selamat.
Pengalaman transit yang menegangkan, tanpa adanya persiapan dan informasi yang cukup sebelumnya. Menelusuri gang-gang ikonik dengan waktu yang terus berjalan habis. Jepang, semoga aku dapat kembali lagi dengan waktu yang lebih lapang.
Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan menuju San Francisco, memecah samudra dari udara~