24 / 06 / 21

Perjalanan Pulang Yang Menegangkan - Toraja #3

Mungkin ini adalah perpisahan dari kegiatan kita, tapi bukanlah akhir dari silaturahmi di antara kita. Tetaplah terhubung, karena kita pernah berjuang bersama.

Sudah menjadi hal biasa bahwa setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan. Canda tawa dan kebersamaan kita akan selalu kukenang. Sampai bertemu kembali di lain waktu yang akan datang~


Semalam, kegiatan pengabdian kami ditutup dengan acara perpisahan dan pentas seni bersama seluruh peserta dan masyarakat di Dusun Baladatu. Tidak terasa, saatnya kami kembali ke realitas kehidupan yang sebenarnya. Sepuluh hari ini telah banyak pengalaman yang tercipta—suka dan duka yang kami lalui bersama.

Oh iya, sebelumnya, karena jadwal kegiatan yang sedikit tertunda dan waktu yang cukup mepet dengan kegiatanku berikutnya, aku sempat memutuskan untuk pulang dua hari lebih awal dari jadwal semula.

Sebelum keberangkatan pengabdian ini, aku sudah mengatur kepulanganku menggunakan pesawat dari Makassar ke Jakarta, tanpa ikut pulang bersama rombongan teman lainnya yang menggunakan kapal laut. Hal ini karena tiket pesawat tersebut sudah kupesan sebelum jadwal pasti kegiatan diberikan, sehingga aku memutuskan untuk pulang lebih awal demi persiapan kegiatanku ke Amerika.

Namun, saat tiba di desa pengabdian, sehari sebelum hari kepulanganku yang direncanakan, aku memutuskan untuk membatalkan niat itu dan memilih menjadwalkan ulang penerbanganku. Keputusan ini kuambil setelah mempertimbangkan dua hal: aku ingin mengikuti kegiatan sampai selesai, dan perjalanan dari desa memakan waktu yang cukup panjang, sehingga rasanya kurang bijak untuk bepergian seorang diri.


Pagi itu, di hari kepulangan, kami sudah bersiap untuk kembali ke kota.

Seluruh barang pribadi dan perlengkapan lainnya mulai dinaikkan ke truk terbuka, sama seperti saat awal perjalanan kami. Satu per satu dari kami naik ke mobil sambil berpamitan kepada masyarakat setempat. Akhirnya, truk siap mengantarkan kami kembali.

Mengapa perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat?

Seperti biasa, perjalanan dari desa menuju kota memakan waktu sekitar tiga jam. Namun, kali ini kami akan singgah di beberapa tempat wisata, menikmati keberagaman adat dan budaya Tana Toraja.

Tujuan pertama kami adalah Ke'te Kesu, salah satu desa adat yang penuh cerita dan sejarah Tana Toraja. Di sini terdapat rumah adat serta makam kuno yang menarik untuk dijelajahi. Kami berkeliling, mengabadikan momen, dan berfoto bersama.

Tidak jauh dari situ, kami melanjutkan perjalanan ke Londa, sebuah gua alami yang digunakan sebagai tempat penyimpanan jenazah leluhur dan keturunannya. Gua ini terletak di sisi bukit batu yang terjal dan tinggi. Tempat ini terasa menarik sekaligus menyeramkan bila dibayangkan. Sayangnya, tidak ada upacara adat yang sedang berlangsung saat itu.

Tujuan terakhir kami adalah Buntu Burake, salah satu ikon Tana Toraja yang menampilkan patung Yesus tertinggi di dunia, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan patung serupa di Rio de Janeiro. Tempat ini menjadi simbol kebersamaan dan keberagaman agama yang ada di sana, dengan pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Setelah puas menjelajah, kami melanjutkan perjalanan pulang menggunakan bus. Perjalanan dimulai selepas waktu Magrib, dengan waktu kedatangan yang bahkan aku sendiri tidak tahu pasti kapan akan tiba.


Perjalanan pulang menuju Kota Makassar berjalan seperti biasa. Kami sempat berhenti sejenak untuk istirahat, shalat, dan makan malam, lalu melanjutkan perjalanan seperti yang direncanakan.

Gemerlap lampu mulai menghilang, pertanda kami mulai jauh dari kota-kota yang dilewati. Hanya sorot lampu kendaraan lain yang terlihat. Kami pun memejamkan mata, berusaha beristirahat.

Namun, tiba-tiba aku terbangun karena merasa pengap dan kepanasan di dalam bus. Rupanya, bus yang kami tumpangi sedang berhenti, tampaknya ada masalah. Kulihat jam menunjukkan sekitar pukul sebelas malam.

Perlu diketahui, estimasi perjalanan kami seharusnya tiba di Makassar sekitar waktu subuh keesokan harinya. Aku sendiri memiliki jadwal penerbangan pagi, sehingga harus tiba di bandara paling lambat pukul delapan pagi.

Penasaran dengan apa yang terjadi, aku turun dari bus dan menemui teman-teman lain yang sudah berada di luar.

"Saluran solarnya patah," ujar sang kernet menjelaskan.

Supir dan kernet sibuk mencoba memperbaiki bus dengan alat seadanya. Saat itu kami berada di sebuah desa kecil. Tidak banyak rumah atau toko terdekat. Mencari bantuan bengkel pun terasa mustahil karena jaraknya terlalu jauh.

"Hayoloh, gimana nih? Kayaknya bakal telat. Sudah, di sini bareng-bareng aja," ujar salah satu teman dengan nada bercanda, seolah ingin menggodaku karena mereka tahu aku punya jadwal penerbangan besok pagi.

Aku mencoba tetap tenang. Waktu masih panjang, sekitar enam jam lagi menuju Makassar. Masih ada peluang tiba tepat waktu jika masalah bus ini segera teratasi.

Supir akhirnya berinisiatif menggunakan lem sementara untuk memperbaiki saluran solar. Dalam hati, aku merasa lega saat bus kembali berjalan. Namun, perjalanan itu tidak berlangsung lama—hanya sekitar tiga puluh menit sebelum supir memutuskan untuk berhenti lagi, kali ini di depan sebuah masjid.

Beberapa dari kami keluar untuk beristirahat di dalam masjid, sementara supir dan kernet mencoba memperbaiki bus sekali lagi. Waktu terus berjalan, dan rasa cemas mulai menghinggapi pikiranku.

Aku akhirnya berdiskusi mencari cara lain. Jika hingga pukul dua dini hari bus ini belum juga melanjutkan perjalanan, aku harus mencari kendaraan lain untuk mengejar jadwal penerbanganku.

Aku mencoba kembali beristirahat sejenak sambil menunggu perkembangan. Namun, aku tak bisa memejamkan mata. Kali ini aku mulai panik. Bagaimana caranya aku bisa melanjutkan penerbangan besok? Jika tidak segera sampai, semuanya akan terlambat. Tidak mungkin aku men-reschedule ulang penerbanganku.


Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Aku duduk bersama Kak Fidya, yang dengan sabar membantu mencari cara lain untuk melanjutkan perjalanan. "Tidak ada waktu lagi," ujarnya. Kami duduk di pinggir jalan, berharap ada kendaraan yang lewat.

Dalam keheningan malam, dari kejauhan tampak sorot lampu kendaraan. Sebuah truk mendekat. Kami melambaikan tangan, mencoba menghentikannya dan menjelaskan situasi kami. Namun, sayangnya truk itu tidak menuju Makassar.

Kendaraan yang lewat sangat jarang, hanya satu atau dua, dan semuanya memberikan alasan serupa—tidak bisa kami tumpangi.

Hingga akhirnya, sebuah mobil ambulans berhenti di depan kami. Supirnya bersedia memberikan tumpangan karena kebetulan tujuannya searah ke Makassar. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari mengambil tas pribadiku, hati berdebar penuh haru. Aku tidak sempat berpamitan dengan teman-teman lain karena mobil akan segera berangkat.

Hanya beberapa orang yang menemani di momen perpisahan itu. Dengan berat hati, aku mengucapkan selamat tinggal, terima kasih, dan pesan agar mereka berhati-hati di perjalanan.

Mobil pun kembali melaju, dan hanya dalam hitungan menit, semua kejadian ini terasa begitu cepat.

Aku tidak menyangka akhir perjalanan ini akan seperti ini. Perasaan sedih, bahagia, dan bingung bercampur menjadi satu.

Di dalam mobil, aku berbincang dengan supir ambulans, sebut saja Pak Andi. Hanya kami berdua di perjalanan itu. Kami mencoba mencairkan suasana dengan saling bertanya satu sama lain. Ternyata, beliau sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar pasien dari Toraja.

Cahaya lampu mobil menerobos kegelapan malam. Hujan sempat turun sedikit, tetapi mobil terus melaju. Dari obrolan kami, Pak Andi bercerita bahwa ia juga terburu-buru pulang karena harus mengambil rapor anaknya di pagi harinya. Sungguh kebetulan yang terasa begitu pas.

Tak terasa, malam berganti pagi. Habis gelap terbitlah terang~

Setelah kurang lebih lima jam perjalanan, kami memasuki Kota Makassar. Matahari pagi yang hangat menyambut kami.

Aku meminta diturunkan di depan jalan menuju kawasan bandara. Semua terasa seperti mimpi, sulit dipercaya. Terlebih lagi, ini adalah pengalaman pertamaku menumpang di kendaraan secara spontan, di pulau yang keadaannya pun masih asing bagiku.

Sesampainya di tujuan, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Andi. "Terima kasih banyak atas tumpangannya, Pak Andi," ucapku. Sungguh, aku yakin tidak ada yang kebetulan—hanya saja kita sering tidak tahu apa yang sudah dipersiapkan untuk kita.


Pukul sepuluh pagi, pesawat meninggalkan Kota Makassar. Inilah akhir perjalananku dari Tanah Toraja. Sungguh pengalaman yang sangat luar biasa, sangat melebihi ekspektasiku.

Dari ketinggian tiga puluh ribu kaki di dalam pesawat, aku pun membaca semua surat kesan dan pesan yang ditujukan untuk diriku. Senang bertemu kalian semua, teman-teman. Terima kasih atas semua kebersamaannya. Sampai jumpa kembali di lain kesempatan. Teruslah memanusiakan manusia~

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di Jakarta. Cerita perjalanan dari Toraja memang sudah selesai, tapi setelah ini masih ada sejuta cerita dan pengalaman yang menunggu selanjutnya.