24 / 06 / 09
Terkadang, aku sempat terpikirkan, bagaimana rasanya mengikuti perkuliahan di Indonesia. Memulai lembaran baru, saling berdiskusi, membantu, dan bercanda tawa.
Hahaha, memang begitulah manusia. Tidak akan pernah ada habisnya ketika melihat kehidupan orang lain. Kadang kita ingin menjadi seperti mereka, sementara mereka mungkin ingin berada di posisi kita. Cukup syukuri saja kehidupan saat ini!
Liburan musim panas tahun ini memang sengaja aku manfaatkan untuk mengikuti banyak kegiatan di Indonesia. Mengenal lebih jauh keberagaman di rumah sendiri sambil menikmati indahnya negeri, bertemu orang baru, dan membuka jaringan untuk berkolaborasi nanti.
Sebenarnya, aku sempat kesulitan memilih beberapa kegiatan yang sesuai dengan waktu liburanku. Dari empat komunitas yang aku telusuri, hanya satu yang aku pilih, karena, pertama, sesuai dengan waktu kosong yang aku miliki, dan kedua, cocok dengan lingkaran komunitas yang aku inginkan.
Kali ini, aku akan ikut menjelajah dalam kegiatan pengabdian masyarakat bersama teman-teman dari Komunitas NGO Kapal Ekspedisi. Tujuan kali ini adalah Ekspedisi Seribu Pulau #6 Toraja Utara: Cahaya Islam di Tanah Toraja.
Cukup menarik ketika aku mencari tahu tentang Toraja. Banyak hal baru yang aku ketahui, mulai dari letaknya di Pulau Sulawesi hingga keberagaman adat, budaya, serta agama yang ada di sana. Aku tidak sabar untuk belajar lebih banyak dan ikut berbaur dengan masyarakat di sana.
Sesuai dengan cerita persiapanku untuk kegiatan di Amerika sebelumnya, bisa dikatakan bahwa aku mendaftar kegiatan ini di tengah-tengah persiapan tersebut. Saat itu, aku juga memikirkan, jika mengambil liburan kelas musim panas, kegiatan apa saja yang bisa aku laksanakan untuk mengisi waktu tersebut.
Sebenarnya, tidak banyak persiapan yang perlu dilakukan untuk mengikuti kegiatan ini. Hanya persiapan biasa, seperti program kerja yang akan dilaksanakan saat tiba di lokasi pengabdian, serta pembekalan lainnya.
Langsung saja menuju hari di mana aku mulai berangkat.
Hari itu, aku berangkat dari rumahku di Bogor. Pagi harinya, aku sempat pergi bersama keluarga ke Taman Safari Puncak untuk persiapan akhir tahun sekolah, kemudian kembali ke rumah. Setelah Magrib, aku pamit kepada orang tua untuk mengikuti kegiatan ini dan memulai perjalanan menuju stasiun terdekat.
Dari Stasiun Cibinong, aku menuju Jakarta, tepatnya ke Stasiun Pasar Senen. Saat itu, ternyata aku satu kereta dengan Kak Akmal, yang pernah aku temui sebelumnya saat kegiatan CLC. Namun, karena kami berada di gerbong yang berbeda, kami tidak sempat berbincang lebih lama.
Ini adalah perjalanan pertamaku menggunakan kereta jarak jauh di Indonesia, dari Jakarta ke Surabaya. Cerita lebih lengkap tentang perjalanan ini sudah aku tuliskan di judul cerita yang lain. [Akhirnya Naik Kereta Api Indonesia ]
Sesampainya di Surabaya pada pagi hari, aku memutuskan untuk menjelajahi beberapa tempat di kota ini. Karena kami baru akan berangkat dengan kapal nanti malam, masih ada waktu untuk eksplorasi.
Aku menjelajahi beberapa tempat secara acak, mengunjungi lokasi-lokasi yang mudah dijangkau dan tidak terlalu jauh. Singkat cerita, malam harinya, setelah mampir ke tempat religi Sunan Ampel, aku berangkat ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
Dengan menggunakan ojek online, aku menuju titik kumpul di pelabuhan. Sesampainya di sana, aku bertemu dengan peserta lainnya. Awalnya, aku merasa cukup canggung karena ini adalah pertama kalinya aku ikut kegiatan seperti ini. Meskipun mencoba berbaur, bagiku agak sulit untuk cepat akrab dengan orang-orang yang baru pertama kali aku temui.
Beberapa waktu kemudian, kami mulai berkumpul, mempersiapkan logistik, dan mengurus tiket untuk masuk ke kapal. Ini adalah pengalaman pertamaku menjelajah dengan kapal, dan juga pertama kalinya aku bepergian ke luar Pulau Jawa, menuju Sulawesi. Pengalaman ini sangat kunantikan.
Saat waktunya masuk kapal tiba, suasana menjadi hiruk-pikuk. Kami sibuk mengatur barang bawaan pribadi serta logistik kegiatan. Ada satu momen "?" yang tidak bisa aku ceritakan di sini, hehe.
Kami mendapat kamar kabin untuk enam orang. Dalam hati, aku berpikir, “_Sepertinya tidak buruk untuk pengalaman pertama naik kapal._” Kapal mulai berlayar, perlahan meninggalkan lampu-lampu daratan pada dini hari itu.
Aku mulai beristirahat sejenak, mempersiapkan diri untuk perjalanan tiga hari dua malam di tengah lautan. Banyak pengalaman yang aku dapatkan. Oalah, ternyata begini rasanya naik kapal dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Aku sempat mendengar cerita bahwa makanan konsumsi di kapal sering kali kurang enak. Namun, saat itu, makanan yang kami dapat justru terasa cukup “mewah,” kata teman-teman dan abang-abang lainnya.
Aku menjelajahi kapal, menikmati luasnya hamparan laut. Ketika matahari terbit, secercah cahaya muncul di kejauhan, perlahan menerangi bumi. Ombak yang bergulung-gulung memecah permukaan laut biru di sekitar kapal, menciptakan pemandangan yang indah.
Selama perjalanan, aku tidak banyak bicara, lebih sering menjadi pendengar setia. Setiap orang memiliki cerita menariknya masing-masing. Ada banyak yang ingin aku ceritakan, tapi entah kenapa sulit rasanya untuk memulai berbicara. Kami juga sempat berdiskusi, bersiap-siap menyambut hari di Tanah Toraja.
Akhirnya, pada pagi hari ketiga, kapal mulai bersandar. Kami turun dan keluar dari pelabuhan. Tidak ada kejadian penting, hanya pertemuan dengan teman-teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Makassar. Ya, kami sudah sampai di Makassar, Sulawesi Selatan.
Tanpa menunggu lama, pagi itu kami langsung menuju Toraja menggunakan bus dengan estimasi perjalanan sepuluh jam. Wah, ternyata cukup jauh—mungkin seperti perjalanan Jakarta ke Surabaya dengan bus. Sambil memperhatikan jalanan dan kehidupan di sepanjang perjalanan, kami melihat rumah-rumah dengan atap yang berbeda, membuat kami penasaran dan saling bertanya-tanya.
Kami berhenti sejenak untuk bersilaturahmi dan makan bersama, lalu melanjutkan perjalanan yang mulai terasa panjang. Beberapa dari kami mencoba menutup mata, berharap segera tiba di tujuan. Namun, apa daya, bus berhenti lagi di tengah kegelapan malam.
Sambil mendengarkan wejangan dan cerita dari Kang Farid, kami mencoba menghibur diri dengan menyemangati "Tayo"—julukan bus kami. Bus beberapa kali berhenti tanpa kami tahu pasti apa masalahnya, ditambah lagi kemacetan yang tidak bisa dihindari. Seseorang mengatakan jalanan tertutup oleh tanah longsor. Malam yang gelap hanya diterangi cahaya dari kendaraan-kendaraan lain, hingga akhirnya pagi menjelang.
Akhirnya, kami tiba di pusat Kota Rantepao, Toraja Utara, setelah total perjalanan kurang lebih dua puluh jam—dua kali lipat dari estimasi awal. Perjalanan ini mengingatkan kami bahwa rencana hanyalah rencana, sedangkan yang terjadi di depan mata penuh dengan ketidakpastian.
Kami beristirahat sejenak di Masjid Raya Rantepao, makan, bersih-bersih, dan berkeliling sedikit untuk menikmati suasana baru. Tak lupa, kami juga berfoto-foto, mengabadikan momen sambil menyiapkan "amunisi" untuk perjalanan berikutnya.
Perjalanan kami belum selesai sampai di sini. Dengan berganti menggunakan truk terbuka, kami melanjutkan perjalanan menuju desa. Pemandangan di sepanjang jalan mulai memanjakan mata: hamparan sawah hijau, pegunungan yang menjulang, dan udara segar yang begitu menyegarkan.
Tanpa terasa, sudah hampir dua jam kami berdiri di atas truk ini. Perjalanan sesungguhnya baru dimulai. Kondisi jalan menuju desa masih berupa kerikil dan tanah, membuat kendaraan sulit melaluinya. Apalagi, jalan yang menanjak serta penuh lubang membuat truk ini terus terguncang-guncang.
"Dinikmati saja, seru juga," pikirku dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, akhirnya kami tiba di tujuan: Dusun Baladatu, Kecamatan Rantebua Sanggalangi, Toraja Utara. Namun, pengalaman yang sebenarnya baru saja dimulai. Kami akan tinggal di sini kurang lebih selama sepuluh hari ke depan.
Dengan total waktu perjalanan hampir seratus jam untuk sampai ke desa ini, rasa lelah terasa sebanding dengan pengalaman yang mengesankan.